Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Persiapan rohaniah untuk kehamilan dan kelahiran

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Januari 2012

Diterjemahkan dari Christian Science Sentinel, edisi 10 Oktober 2011


Menunggu  kehadiran sang bayi merupakan saat yang sangat membahagiakan bagi pasangan yang isterinya sedang mengandung. Dan terus terang, saya selalu bersyukur mempunyai waktu sembilan bulan untuk mempersiapkan segala sesuatu!

Dengan ketiga anak kami, setiap kali, selama sembilan bulan saya belajar dan berdoa untuk menyambut mereka masing-masing ke dalam kehidupan kami. Saya juga berkerja dengan seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen, yang membantu saya berdoa dan sekaligus memberikan bimbingan serta doa penyembuhan khusus setiap kali ada masalah.

Memahami konsep metafisika yang berkaitan dengan kehamilan dan kelahiran merupakan latihan yang penting bagi setiap pemikir rohaniah, baik ia seorang ibu atau ayah, kakek-nenek, orang tua angkat, atau bahkan seseorang yang tidak pernah berencana mempunyai anak. Melihat kelahiran dari sudut pandang rohaniah membuka pikiran kita kepada ciptaan Allah yang agung, dan mempersiapkan kita kepada sesuatu yang baru, kepada daya hidup serta pemahaman yang lebih baik tentang Allah sebagai Hidup ilahi—sebagai satu-satunya pencipta kita.

Siapakah orang tua yang sesungguhnya?

Saya pernah bergumul dengan pertanyaan, “Jika Allah adalah pencipta dan Ibu-Bapa alam semesta, mengapa seakan-akan suami saya dan saya telah membuat anak? Apakah arti semua itu?”

Pertanyaan tersebut terus datang sampai saya menemukan kalimat ini di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci: “Perbanyakan anak-anak Allah bukanlah hasil tenaga pembiakan dalam zat, melainkan adalah pencerminan Roh” (Mary Baker Eddy, hlm. 303). Masih berkaitan dengan hal tersebut, sebagai bagian dari jawaban atas pertanyaan, “Apakah manusia itu?”  Mary Baker Eddy mengatakan, “. . . yang tidak mempunyai hidup, kecerdasan, ataupun daya cipta sendiri, melainkan mencerminkan secara rohaniah semua yang dimiliki Khaliknya” (hlm. 475).

Pernyataan-pernyataan tersebut memberikan kejelasan yang saya cari. Sebagai anak-anak Allah, kita masing-masing secara rohaniah mencerminkan semua yang dimiliki pecipta kita yang ilahi—yang dimiliki Hidup!—termasuk daya cipta. Tetapi daya cipta itu tidak pernah berasal dari manusia, dari anda dan saya.

Saya sadar bahwa mempunyai anak adalah suatu segi dari pencerminan tersebut. Hal itu tidak berdiri sendiri atau terpisah dari pernyataan akan kerohanian kita atau dari suatu pemahaman yang lebih sempurna tentang ciptaan Allah yang tidak berhingga.

Dalam Pelajaran Alkitab Ilmupengetahuan Kristen beberapa waktu yang lalu diceriterakan tentang Salomo dan keputusannya yang bijak dalam menentukan ibu sesungguhnya dari seorang bayi. (lihat 1Raj 3:16–28). Dua perempuan baru saja melahirkan dan yang seorang secara tidak sengaja membuat anaknya tidak dapat bernafas saat tidur malam. Ketika kedua perempuan itu mengaku bahwa bayi yang hidup itu anaknya, tanpa ragu-ragu Salomo menyarankan agar anak itu dibelah dua dan masing-masing mendapatkan setengahnya! Tentu saja itu merupakan kunci yang ampuh untuk mengetahui ibu yang sebenarnya dari anak itu, karena dia pasti tidak rela anaknya dikorbankan.

Setelah membaca kisah tersebut, putera saya yang kecil berkomentar, “Wah Salomo paham sekali mengenai perbedaan antara ibu yang palsu dan yang sesungguhnya!” Wawasan putera saya itu, meskipun kedengarannya sederhana, membuat saya berpikir dengan cara yang sama sekali baru mengenai ceritera itu. Saya bertanya kepada diri sendiri, Bukankah kita semua perlu melihat perbedaan antara “ibu yang palsu” dengan “ibu yang sesungguhnya”?

Ibu yang palsu ingin membelah kita menjadi dua, mengatakan bahwa kita bersifat kebendaan dan rohaniah; bahwa kita adalah wujud jasmaniah, yang terbuat dari DNA keluarga, sejarah serta kesalahan masa lalu. Ibu yang palsu (dan kita juga dapat mengatakan ayah yang palsu) mengatakan mengasihi kita, tetapi kasih itu berasal dari sumber yang mementingkan diri sendiri dan membuat kita sulit bernafas.

Sebaliknya, ibu kita yang sesungguhnya, Kasih-Ibu kita yang ilahi, tidak akan pernah membelah kita menjadi dua, melainkan menjamin bahwa kita sepenuhnya bersifat rohaniah dan memiliki warisan ilahi—murni, lengkap, sehat, dan utuh—dikasihi dan diciptakan secara ilahi. Kisah Alkitab ini, dipahami seperti itu, menunjukkan pentingnya mendengarkan Ibu kita yang sesungguhnya, Allah, setiap hari. Ibu ilahi kita memberitahu kita siapa sesungguhnya diri kita dan semua orang dalam kehidupan kita, termasuk bayi kita. Sangatlah membantu setiap hari bertanya kepada diri sendiri, “Apakah yang berbicara ini Ibu kita yang sejati—ataukah ibu yang palsu, yang memberitakan kebohongan mengenai identitas saya?” Ibu yang sejati adalah satu-satunya yang berhak berbicara dan memberitakan yang benar tentang ciptaanNya. Hal seperti ini menghapuskan kekhawatiran apa pun yang berkaitan dengan komplikasi, sifat keturunan, genetika, dsb., yang sering dihubungkan dengan kehamilan dan kelahiran.

Apakah yang kita kandung?

Sementara bayi tumbuh dalam kandungan, sangatlah penting bagi kedua orang tuanya untuk tumbuh dalam pemahaman tentang identitas rohaniah mereka. Mungkin kita tergoda untuk berpikir bahwa bayi itu meminjam dari ibunya, mungkin mengambil gizi, yang mengakibatkan penurunan kesehatan serta kesejahteraan sang ibu—atau menimbulkan perubahan secara umum pada tubuh si ibu!  Tetapi faktanya yang rohaniah adalah bahwa baik ibu maupun anak bersifat unik dan sudah terbentuk seutuhnya, dengan hubungan serta kaitan mereka masing-masing kepada Allah. Berat serta pertumbuhan si bayi dapat dilihat sebagai suatu proses wajar yang berkembang dengan selaras. Seperti dijelaskan Ny. Eddy, “Walaupun beroleh tenaga yang baru, ide itu tidak dapat melukai lingkungannya yang berguna dalam pekerjaan kelahiran rohaniah.” Dan selanjutnya, “Permulaannya akan lemah lembut, pertumbuhannya kuat perkasa, dan kedewasaannya tanpa kehancuran” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 463).

Ketika sedang mengandung puteri saya, saya harus menjaga kakaknya yang masih kecil dan mengajar purna waktu. Selain itu suami saya hampir setiap minggu melakukan perjalanan dinas keluar kota. Suatu sore, setelah sibuk seharian, saya menyeret tong sampah keluar, merasa jengkel suami saya tidak dapat membantu karena sedang berdinas luar.  Sanak keluarga kami tinggal jauh, dan salah seorang tetangga (yang memperhatikan saya ketika dia juga sedang membuang sampah), juga tidak menawarkan bantuan! Kandungan saya terasa berat, dan minggu itu perut saya terasa sakit karena beban tersebut. 

Malam itu saya membuka Alkitab secara acak, sambil menggapai kepada Allah dengan sepenuh hati untuk memperoleh jawaban. Saya membaca ayat ini: “Seperti seorang gembala Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk domba dituntun-Nya dengan hati-hati” (Yes 40:11). Wah, sungguh sangat tepat bagi saya. Dengan serta merta saya merasa sangat dikasihi dan menyadari bahwa Allah membimbing saya, mendukung saya dan bayi saya, dan bahwa saya tidak perlu bergantung kepada suami atau orang lain untuk menanggung beban tersebut. Seperti tertulis dalam Yesaya 46, “Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.” (ayat 4). Saya tidak lagi merasa terbebani, dan rasa sakit serta frustasi pun hilang pula.

Dari mana kita mendapatkan uangnya?

Mungkin kita berpikir bahwa bayi tersebut akan membebani keuangan keluarga. Tetapi, sebagaimana si bayi tidak dapat menyerap kesehatan serta kesejahteraan ibunya, sangatlah penting memahami bahwa dia juga tidak dapat membebani kestabilan ekonomi keluarganya. Penyesuaian yang wajar dapat terjadi dan memberkati semua yang terlibat.

Sebelum puteri kami lahir, saya memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak mengajar. Kepala Sekolah menganjurkan agar saya mempertimbangkan kembali keputusan tersebut, bahkan menawarkan beberapa opsi bantuan penjagaan anak untuk tahun berikutnya. Tetapi setelah berdoa saya mendapat keyakinan bahwa keputusan saya sudah benar—meskipun pendapatan saya diperlukan untuk membayar cicilan rumah. Pada musim panas tahun itu, setelah puteri kami lahir, saya terus berdoa setiap hari, sambil terus memelihara keinginan untuk dapat tinggal di rumah bersama kedua anak kami.

Tidak lama kemudian suami saya mendapat tawaran pekerjaan yang tidak memerlukan dinas luar, dan tidak jauh dari rumah kami, dengan gaji dua kali lipat, sehingga persis menutup gaji saya sebelumnya dan memungkinkan saya menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.

Bagaimana kelahiran itu akan terjadi?

Sangatlah mudah—terutama sebagai pelajar Ilmupengetahuan Kristen—untuk terjebak dalam pemikiran bahwa suatu kelahiran yang alami (seringkali dengan bantuan bidan), adalah lebih “rohaniah.” Memang itu suatu cara persalinan yang menakjubkan (saya tahu dari pengalaman), tetapi apa sebetulnya yang kita perbincangkan di sini? Bukankah keinginan yang sesungguhnya adalah menjaga agara pikiran kita diluhurkan lebih tinggi daripada kejadian insani sehingga kita dapat menghargai secara lebih dalam makna rohaniah kelahiran—dan “sama sekali melepaskan pikiran fana dari paham-pahamnya yang kebendaan”?  Dalam suatu paragraf mengenai Ilmu kebidanan yang ilmiah di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, Ny. Eddy menasihatkan: “Untuk memberi pertolongan yang sepatutnya pada kelahiran anak yang baru, atau ide ilahi, kita harus sama sekali melepaskan pikiran fana dari paham-pahamnya yang kebendaan, sehingga kelahiran akan berjalan dengan wajar dan aman” (hlm. 463).

“Ini bukan mengenai kejadian itu.” Itulah pesan malaikat yang saya peroleh ketika hendak melahirkan anak saya yang pertama. Dokter mengatakan, saya mengalami komplikasi, dan menganjurkan agar saya datang keesokan harinya untuk mempercepat persalinan tiga minggu sebelum waktunya. Saya sangat terkejut. Selama itu saya berharap mengalami persalinan yang alami, dan kemudian saya diberitahu bahwa hal itu tidak mungkin. Saya menangis sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, merasa bahwa saya telah gagal sama sekali.

Tetapi dokter memberi saya kesempatan untuk berdoa malam itu (dia tahu saya pelajar Ilmupengetahuan Kristen dan menghormati kepercayaan saya). Malam itu, ketika berpaling kepada Allah dengan sepenuh hati, terpikir oleh saya kisah Daniel di kandang singa. Apakah keamanan Daniel terancam karena dia dikelilingi singa-singa dan tidak ada jalan keluar? Apakah sang raja benar-benar menentukan masa depannya? Di manakah Allah dan di mana kepercayaan Daniel kepada perlindungan Allah? Pikiran Daniel—yang diterangi doa serta pergantungannya kepada Allah—tetap tenang dan penuh rasa percaya. Malam itu, di kandang singa, singa-singa itu tidak pernah menyentuhnya.

Dalam kasus saya, saya menyadari bahwa singa-singa itu melambangkan ketakutan saya. Takut terhadap prosedur penanganan medis, komplikasi, berbagai prediksi yang disampaikan dokter—bahkan takut bahwa saya tidak membuktikan Ilmupengetahuan Kristen dengan sepenuhnya.  Tetapi doa saya menyadarkan, bahwa saya dapat membungkam ketakutan-ketakutan tersebut—“mengatupkan mulut singa-singa itu”—dengan mengetahui bahwa kesempurnaan saya dan kesempurnaan anak saya tidak dapat terancam. Sang raja adalah seperti dokter saya, sangat peduli dan penuh kasih sayang, namun mengikuti hukum-hukum kebendaan yang dianggapnya benar. Tetapi Allah memberikan pesan yang berbeda: “Ini bukan mengenai kejadian itu.” 

Suami saya dan saya menginginkan kelahiran yang “wajar dan aman,” dan kami menginginkan yang terbaik untuk anak kami. Oleh karena itu saya tidak lagi menghubungkan kelahiran anak saya dengan suatu proses jasmaniah yang bersifat kebendaan—dengan cara persalinan yang saya inginkan—dan memusatkan perhatian saya untuk memahami sifat-sifat rohaniah yang sudah ada dan selalu tersedia.  Sifat-sifat  seperti keselarasan, damai, sukacita, dan kesempurnaan. Sifat-sifat tersebut tidak dapat “dipancing” atau dipaksa hadir. Keesokan harinya, saat menuju rumah sakit, saya sudah tidak takut, dan saya tidak lagi bersikeras mengenai cara persalinan yang harus terjadi.

Pada akhirnya, kelahiran anak saya alami, disaksikan dokter saya.  Kemudian, salah seorang perawat bertanya kepada saya, “Bagaimana operasinya?” Dia merasa pasti bahwa anak saya dilahirkan melalui operasi. Tetapi dokter saya menjawab, “Oh, ini persalinan yang alami, sama sekali tidak ada komplikasi.” 

Sejak itu saya melahirkan dua anak lagi, keduanya melalui kehamilan serta kelahiran yang unik—dan juga alami.

Tetapi yang terus saya ingat adalah, bahwa kelahiran insani dan proses persalinan yang bersifat jasmani tidak pernah dapat mencerminkan yang ilahi. Proses persalinan, bagaimanapun caranya, tetap saja merupakan peristiwa insani. Sesungguhnya, kebakaan dan kerohanian setiap anak yang baru lahir sama sekali tidak bercela, tidak dipengaruhi persalinan yang terjadi dalam pengalaman insani—dan doa menyingkapkan hal ini.

Mempersiapkan dan menjaga pikiran kita secara rohaniah untuk menyambut kedatangan si bayi ke dalam keluarga kita merupakan hal terbaik untuk menjamin kelahiran yang selaras. Doa mematahkan pembatasan khayal yang mengatakan bahwa rasa sakit, komplikasi, dan rasa takut menyertai kehamilan serta kelahiran. Semua ini tidak mempunyai tempat jika kita menyadari pengendalian Allah atas segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita. Lalu kita dapat yakin bahwa kelahiran adalah wajar dan aman.

Saat calon orang tua (kakek/nenek dan sebagainya) mengakui hal ini, kita akan membawa pulang bukan hanya bayi yang molek. Kita telah memperoleh wawasan yang sangat berharga tentang hubungan kita dengan Ibu kita yang sejati dan anak-anakNya yang terkasih.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.